Penundaan Pengangkatan PPPK hingga Maret 2026 Tuai Pro-Kontra: Antara Rasionalisasi Fiskal dan Kekecewaan Tenaga Honorer

Padangsidimpuan, 10 Maret 2025 — Keputusan pemerintah untuk menunda pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) hingga Maret 2026 memantik gelombang reaksi dari berbagai kalangan. Di satu sisi, pemerintah menyebut langkah ini sebagai bentuk penyesuaian anggaran dan penyempurnaan sistem rekrutmen nasional. Namun di sisi lain, ribuan tenaga honorer yang telah lama menanti kejelasan status kepegawaiannya merasa kecewa, bahkan merasa dikhianati.

Latar Belakang Penundaan: Tekanan Anggaran dan Reformasi Sistem

Melalui surat edaran dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) yang dirilis awal Maret 2025, pemerintah menyatakan bahwa proses pengangkatan PPPK untuk beberapa sektor ditunda hingga Maret 2026. Penundaan ini diklaim sebagai bagian dari strategi penyesuaian fiskal nasional serta penyelarasan data honorer yang masih tumpang tindih di berbagai daerah.

Menteri PAN-RB,  Rini Widyantini, dalam konferensi pers di Jakarta, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil demi kebaikan jangka panjang. “Kami tidak ingin pengangkatan PPPK dilakukan secara terburu-buru, tanpa data yang valid dan sistem yang solid. Kita ingin hasil yang akuntabel, transparan, dan berkeadilan,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa pemerintah akan menggunakan waktu ini untuk membenahi sistem digitalisasi seleksi, melakukan sinkronisasi data honorer dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN), dan menyusun peta kebutuhan ASN yang lebih akurat di tingkat daerah.

Pihak yang Mendukung: “Keputusan Sulit tapi Perlu”

Sejumlah akademisi dan pengamat kebijakan menilai bahwa langkah pemerintah cukup masuk akal, terutama dalam kondisi fiskal yang belum sepenuhnya pulih.

Dr. Indra Wirawan, pakar administrasi publik dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa anggaran negara saat ini sedang tertekan oleh berbagai program strategis nasional.

“Kalau semua tenaga honorer diangkat sekaligus, negara akan terbebani dari sisi gaji dan tunjangan. Penundaan ini bisa memberi ruang bagi pemerintah untuk menghitung ulang kebutuhan ASN secara realistis dan memperbaiki skema rekrutmen agar tidak ada diskriminasi atau titipan,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah daerah juga disebut belum seluruhnya siap dalam menyediakan Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditujukan untuk gaji PPPK, terutama di daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah.

Gelombang Kekecewaan: Honorer Merasa ‘Digantung’

Namun, di balik alasan teknis dan fiskal, suara-suara kekecewaan terus bergema. Ribuan tenaga honorer, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, merasa keputusan ini tidak adil. Sebagian dari mereka sudah mengikuti tahapan seleksi dan dinyatakan lulus, namun hingga kini belum menerima SK pengangkatan.

“Saya sudah ikut tes sejak 2023, diumumkan lulus, bahkan sudah diminta melengkapi berkas. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Dan sekarang malah ditunda lagi sampai 2026? Rasanya seperti dipermainkan,” ujar Fitri Nuraini, guru honorer di sekolah negeri wilayah Kabupaten Subang.

Kondisi serupa juga dirasakan oleh tenaga kesehatan. Beberapa dari mereka mengaku sudah mengabdi di Puskesmas terpencil selama belasan tahun dengan gaji tidak tetap. Penundaan ini membuat mereka merasa tidak dihargai.

“Selama pandemi kami di garda terdepan. Sekarang ketika berharap ada kepastian hidup, malah harus menunggu lagi. Kami ini bukan robot,” ucap Junaedi, perawat honorer dari NTB.

Reaksi Serikat Pekerja: Ancaman Aksi Nasional

Serikat Pekerja Honorer Nasional (SPHN) menyayangkan keputusan pemerintah dan menganggapnya sebagai bentuk pengabaian terhadap komitmen negara. Ketua SPHN, Andi Prasetyo, menyatakan pihaknya tengah mengonsolidasikan anggota di seluruh provinsi untuk melakukan aksi serentak jika tuntutan mereka tidak digubris.

“Kami menuntut adanya kejelasan jadwal, bukan janji kosong. Kalau memang ditunda, mana surat keputusan resminya? Mana roadmap-nya? Kami lelah dengan permainan wacana,” tegasnya.

SPHN juga meminta agar proses pengangkatan yang telah berjalan tetap dilanjutkan, terutama bagi peserta yang sudah lulus seleksi dan hanya tinggal menunggu penempatan.

DPR Soroti Keputusan Pemerintah: “Jangan Jadikan Honorer Korban Kebijakan”

Di Senayan, Komisi II DPR RI turut angkat bicara. Sejumlah anggota dewan menyatakan akan memanggil pihak KemenPAN-RB untuk dimintai penjelasan detail, karena penundaan ini bisa berdampak pada moral para tenaga honorer di lapangan dan potensi tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah yang bisa menyebabkan ketidakpastian lebih lanjut.

“Pemerintah harus berhati-hati. Jangan sampai kebijakan ini membuat tenaga honorer kehilangan semangat dan kepercayaan terhadap negara. Mereka ini ujung tombak pelayanan publik di daerah-daerah,” ujarnya.

Kesimpulan: Antara Harapan dan Ketidakpastian

Penundaan pengangkatan PPPK hingga Maret 2026 menyoroti kompleksitas hubungan antara kebutuhan fiskal negara dan keadilan sosial bagi tenaga honorer. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk membenahi sistem dan menghindari rekrutmen yang tidak tepat sasaran. Namun di sisi lain, ribuan tenaga honorer terus hidup dalam ketidakpastian yang berlarut-larut.

Sampai saat ini, belum ada solusi konkret yang bisa menjawab keresahan mereka. Yang tersisa hanyalah harapan – dan bagi sebagian, rasa kecewa yang mendalam.