PPPK Paruh Waktu: Peluang, Hak, dan Tantangan
Padangsidimpuan, 1 September 2025. Menurut Analisis Kritis Perkembangan Kebijakan PPPK oleh Adzhar dkk. (2025), hadirnya skema PPPK Paruh Waktu merupakan jawaban atas persoalan tenaga honorer yang belum memperoleh formasi penuh dalam seleksi ASN. Kebijakan ini dipandang memberi dampak positif, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan guru honorer, pemerataan distribusi tenaga pendidik, serta mendorong percepatan reformasi birokrasi berbasis merit system.
Pemerintah merancang PPPK Paruh Waktu sebagai bentuk kontrak kerja dengan jam tugas dan gaji yang lebih fleksibel, menyesuaikan kondisi anggaran instansi. Kehadiran skema ini dianggap langkah adaptif untuk mengurangi kesenjangan antara honorer dan ASN penuh waktu, sekaligus menghindari risiko pemutusan hubungan kerja massal. Dalam Keputusan Menteri PAN-RB Nomor 16 Tahun 2025, sasaran utama kebijakan ini ialah tenaga honorer yang tercatat di database BKN maupun yang pernah mengikuti seleksi CPNS/PPPK tetapi belum lolos.
Secara teoritis, PPPK Paruh Waktu disebut oleh Yuli Mega Anggraeni & Ahmad Ahsin Thohari (2025) sebagai inovasi strategis dalam manajemen ASN, karena mampu menghadirkan fleksibilitas, efisiensi, dan responsivitas birokrasi. Walau demikian, riset mereka juga menyoroti adanya potensi kekosongan norma terkait perlindungan hak dan mekanisme evaluasi kinerja. Hal ini perlu diperhatikan agar kebijakan tidak hanya administratif, tetapi juga adil bagi pegawai.
Dari sisi peluang, pegawai paruh waktu memperoleh status resmi ASN dengan Nomor Induk PPPK, hak hukum yang lebih jelas, serta jaminan sosial. Meski gaji disesuaikan kemampuan anggaran daerah, aturan memastikan nilainya minimal setara gaji honorer sebelumnya atau UMK. Fleksibilitas jam kerja memberi ruang bagi pegawai untuk tetap beraktivitas di luar pekerjaan, bahkan tersedia peluang alih status menjadi PPPK penuh waktu bila kinerja memadai.
Regulasi juga menjamin sejumlah hak, di antaranya gaji dan tunjangan sesuai kontrak, jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, penilaian kinerja berkala, pelatihan pengembangan kompetensi, hingga perlindungan hukum sebagai ASN. Namun, dalam praktiknya, muncul sejumlah tantangan seperti standar evaluasi kinerja yang belum seragam antarinstansi, ketidakpastian masa kontrak, keterbatasan fasilitas dibanding pegawai penuh waktu, serta kurangnya pemahaman honorer mengenai prosedur dan hak mereka.
Bagi pemerintah, kebijakan ini relevan untuk memperkuat reformasi birokrasi, karena membantu pemerataan tenaga khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, tanpa membebani anggaran secara berlebihan. Bagi honorer, PPPK Paruh Waktu menjadi pintu masuk menuju sistem ASN dengan perlindungan lebih baik. Agar manfaatnya optimal, diperlukan perbaikan pada aspek evaluasi, fasilitas, serta sosialisasi kebijakan, sehingga keberadaannya benar-benar meningkatkan kualitas layanan publik secara berkelanjutan.