Studium General Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Tahun 2025: Mengupas Dakwah Ekologi dalam Membangun Masyarakat Multikultural
dipublish: Sawaluddin Siregar
Padangsidimpuan, 25/11/2025. Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) UIN Syahada Padangsidimpuan sukses menyelenggarakan Studium General Tahun 2025 dengan tema “Dakwah Ekologi dalam Membangun Masyarakat Multikultural” pada Selasa, 25 November 2025. Kegiatan ini menghadirkan narasumber Dr. Irman, M.Pd, Wakil Rektor III UIN Mahmud Yunus Batu Sangkar, yang bergabung secara daring melalui Zoom Meeting.
Acara diawali dengan pembukaan oleh MC, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, Mars UIN Syahada Padangsidimpuan, dan pembacaan doa. Suasana akademik semakin terasa ketika Ketua Panitia, Dr. Anas Habibi Ritonga, M.A., menyampaikan laporannya bahwa jumlah peserta mencapai 400 orang yang terdiri dari seluruh program studi di FDIK, mulai dari mahasiswa semester 1, 3, 5, hingga 7. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tema “Dakwah Ekologi dalam Membangun Masyarakat Multikultural” dipilih sebagai upaya memperkuat wawasan mahasiswa terhadap urgensi dakwah berbasis lingkungan di tengah keberagaman masyarakat. Ia berharap kegiatan ini tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menginspirasi mahasiswa untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan melalui pendekatan dakwah yang humanis dan inklusif.
Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Magdalena, M.Ag., dalam bimbingan dan arahannya dan sekaligus membuka kegiatan tersebut menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada panitia atas terselenggaranya Studium General Tahun 2025 dengan tema yang dianggap sangat relevan di era modern. Beliau menegaskan bahwa dakwah tidak hanya berbicara tentang penyampaian pesan keagamaan semata, tetapi juga mencakup tanggung jawab moral terhadap kelestarian lingkungan dan keharmonisan sosial. Oleh karena itu, tema “Dakwah Ekologi dalam Membangun Masyarakat Multikultural” diharapkan mampu memperluas perspektif mahasiswa mengenai peran dakwah dalam menjawab tantangan global, khususnya isu kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.
Dr. Magdalena, M.Ag. juga berharap kehadiran narasumber, Dr. Irman, M.Pd., dapat memberikan pencerahan pemikiran dan pemahaman baru bagi seluruh peserta. Ia menekankan bahwa materi yang disampaikan nantinya harus mampu menjadi bekal intelektual bagi mahasiswa dalam memadukan nilai-nilai Islam, sensitivitas sosial, dan kepedulian terhadap lingkungan. Beliau juga mengajak seluruh mahasiswa untuk mengikuti kegiatan dengan sungguh-sungguh, aktif berdiskusi, serta menjadikan studium general ini sebagai momentum meningkatkan kapasitas akademik dan komitmen dakwah yang lebih bermakna bagi masyarakat.
Sesi selanjutnya penjelasan oleh Narasumber, Dr. Irman, M.Pd., menjelaskan bahwa konsep konvergensi tiga paradigma merupakan pendekatan yang mengintegrasikan tiga bidang kajian penting untuk memperkuat dakwah ekologi dalam masyarakat multikultural. Paradigma pertama adalah teologi lingkungan Islam, yang meliputi Tauhid sebagai landasan Ekologi, Khalifah dan konsep pengelolaan lingkungan, Amanah dan tanggung jawab, Mizan, keseimbangan kosmik dan Fasad. Larangan berbuat kerusakan. Islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi dengan tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga kelestarian alam. Dalam perspektif ini, lingkungan dipahami sebagai amanah dari Allah SWT yang harus dipelihara, sehingga aktivitas dakwah tidak hanya menekankan aspek ibadah ritual, tetapi juga mencakup kepedulian terhadap keberlanjutan alam sebagai bagian dari ketaatan religius.
Paradigma kedua adalah sosiologi lingkungan, Dalam sosiologi lingkungan, Tragedy of the Commons menjelaskan bahwa sumber daya bersama—seperti sungai, hutan, laut, atau udara—akan mengalami kerusakan bila digunakan secara bebas tanpa aturan kolektif. Setiap individu cenderung memaksimalkan keuntungan pribadi, sementara beban kerusakan ditanggung bersama.
Solusi yang ditawarkan: membangun institusi sosial, aturan bersama, nilai kolektif, dan solidaritas komunitas. Dengan demikian, pengelolaan lingkungan menjadi tanggung jawab bersama melalui kesepakatan sosial, musyawarah, dan pengawasan komunitas.
Paradigma ketiga adalah komunikasi lintas budaya, yang menjadi kunci dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah ekologi kepada masyarakat yang heterogen. Common Ingroup Identity Model (Gaertner & Dovidio). Model ini menjelaskan bahwa prasangka dan konflik antar kelompok dapat dikurangi dengan menciptakan identitas bersama yang lebih luas dan inklusif. Dalam konteks dakwah ekologi, identitas itu dapat dibangun melalui konsep seperti “Kita Penjaga Sungai”, “Komunitas Hijau”, atau “Sahabat Lingkungan”.
Dengan mengubah cara pandang dari “kelompok kami vs. kelompok mereka” menjadi “kita satu kelompok dengan tujuan yang sama”, pesan-pesan lingkungan menjadi lebih mudah diterima, dan kerja sama menjadi lebih kuat. Pendekatan ini sangat efektif dalam masyarakat multikultural yang memiliki perbedaan budaya, keyakinan, maupun kebiasaan.
Sesi diskusi dan tanya jawab berlangsung interaktif. Para peserta antusias mengajukan pertanyaan dan berdialog langsung dengan narasumber, baik mengenai praktik dakwah lingkungan, tantangan sosial, hingga strategi komunikasi efektif dalam masyarakat multikultural. Kegiatan ini berlangsung hangat dan inspiratif, memberikan pemahaman baru bagi mahasiswa tentang urgensi dakwah ekologi di era modern.








